Sejarah di Seputar Tonasa

‘Tonasa’. Saya kira tidak ada seorangpun diantara kita yang tidak mengenal kata ini, dan jika menyebut kata ‘Tonasa’ maka pikiran semua orang langsung bisa menebaknya. Ya, Pabrik Semen. Kata Tonasa itu hanya satu, hanya di Pangkep. Kalau ada orang ditanya, ”kerja dimana, pak ?” Dan kalau jawabannya, ”kerja di Tonasa”, maka tentu maksudnya orang tersebut kerja di Pabrik Semen.

Bandingkan nama Tonasa dengan nama pabrik semen lain yang bermakna ganda, misalnya, Bosowa, Padang, atau Gresik. Bosowa bisa berarti akronim dari Bone Soppeng Wajo (Tellumpoccoe ri Timurung), bisa berarti pabrik semen Bosowa di Maros, atau bisa berarti show room mobil Bosowa di Makassar. Nama Padang cukup banyak di Sumatera, ada Padang Panjang, Padang Pariaman, Padang Sidempuang, dan lain sebagainya, bahkan di Pangkep ada yang namanya Padang Lampe. Nama Gresik juga tidak monopoli Semen Gresik karena dipakai juga untuk nama pabrik pupuk, Petrokimia Gresik. Oleh karena itu setiap orang yang menyebut nama Tonasa maka ingatan kita pasti hanya satu, yaitu Semen.

Asal Usul Nama Tonasa

Terdapat dua versi yang saya dapatkan terkait nama 'Tonasa' ini :
Versi pertama, Cerita yang berkembang turun temurun dari orang – orang tua di Balocci, di deretan bukit dan gunung batu kapur (karst) pada kampung tempat awal didirikannya pabrik Semen Tonasa I, seringkali penduduk di kampung itu melihat seberkas cahaya yang tidak biasanya muncul diantara bukit – bukit batu kapur itu. Oleh penduduk desa itu dianggap sebagai pertanda yang nyata (makassar : aknassa) atau sinyal bahwa suatu saat, kehadiran batu kapur itu akan menjadi penting dan kampungnya akan menjadi ramai dikunjungi, meski mereka sadar bahwa kampungnya dikelilingi hutan yang sangat lebat, terpencil dan menjadi sarang para perampok dan penyamun.

Seringkali deretan bukit batu kapur dalam kawasan kampung itu menjadi pelarian para pembunuh dan perampok, serdadu kompeni tidak berani mengejar sampai jauh masuk dalam kawasan batu kapur tersebut. Lama kelamaan penduduk kampung itu takut melewati lembah – lembah diantara bukit batu kapur itu karena disitu tempat persembunyian ‘tau annassa’ kejahatannya, sehingga dinamai tau annassa atau to nassa, kemudian mendapatkan penyempurnaan pengucapan ‘Tonasa’.

Versi kedua, menyebutkan cerita penduduk orang – orang tua di Balocci, bahwa kawasan batu kapur dan hutan yang ada disitu adalah satu. Penduduk setempat bahkan penduduk dari Barasa (Pangkajene) dahulunya kalau mau membangun rumah atau untuk memenuhi kebutuhan kayunya maka harus mencarinya di tempat itu, karena lokasinya banyak pohon – pohon yang tumbuh ‘keras, kokoh dan kuat’ di pinggir perbukitan batu kapur.

Penduduk setempat menyebutnya, ”Tone’na ajuE” (intinya kayu), kayu yang banyak dicari karena bagus untuk ”possi bola” (tiang tengah rumah). Maka ramailah pohon tonasa ditebang di kawasan itu. Cerita ini kemudian mendapatkan pembenaran ketika nama Tonasa dengan semen yang dihasilkannya menjadi simbol kekuatan / inti kayu atau bagian kayu yang tangguh dan kokoh.

Dari Balocci ke Bungoro

Berdasarkan keputusan MPRS No. II / MPRS / 1960 tanggal 5 Desember 1960, ditetapkan untuk mendirikan pabrik semen di Sulawesi Selatan yang berlokasi di Desa Tonasa, Pangkep, sekitar 54 km sebelah utara Makassar. Pabrik Semen Tonasa Unit I merupakan proyek di bawah Departemen Perindustrian dan merupakan hasil kerja sama antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Cekoslowakia yang dimulai sejak tahun 1960 dan diresmikan pada 2 November 1968. Desa Tonasa berada dalam lingkup Kecamatan Balocci, letaknya di sebelah selatan dan timur Kota Pangkajene, berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Bone. Daerah Balocci ini terkenal dengan potensi pertanian dan perkebunannya, selain potensi kawasan karst dan hutan lindung didalamnya.

Kata “Balocci” berasal dari kata “Ballo Kecci”, yang berarti arak kecut. Dahulu daerah ini merupakan tempat asal para pemberani (tobarani) yang mempunyai kebiasaan minum arak (anginung ballo’), sabung ayam (assaung jangang / massaung manu), judi (abbotoro’). Kebiasaan ini adalah kebiasaan umum masyarakat pada masa itu. Tidak disebut seseorang itu pemberani jika tidak melakoni tiga kebiasaan tersebut diatas. Para pemberani di Balocci itu dijuluki “Koro – korona Balocci”, karena kebiasaan yang terkenal meminum “Ballo Kecci” dan memang ballo’ yang terkenal di Balocci pada masa itu adalah Ballo Kecci, ballo yang sangat memabukkan. (Makkulau, 2008).

Pada masa itu berkembang cerita---semacam sumpah---bahwa jika sudah tidak ada “Koro – korona Balocci” di Balocci maka ada tiga hewan yang juga tidak bolah berbunyi di Balocci. Tiga hewan itu ialah tokke’, jala’ dan bukkuru’. Sampai sekarang ketiga hewan ini tidak pernah terdengar di daerah Balocci, malahan menurut penduduk setempat jika mereka ke daerah (kecamatan) lain kemudian mendengar suara tokke’, maka suara tokke’ tersebut seketika akan berhenti jika dikatakan, “nia tau Balocci anrinni”. (Makassar : Ada orang Balocci disini) atau “engka’ to-Balocci koe” (Bugis : Ada orang Balocci disini). (Makkulau, 2008).

Versi lain sehubungan dengan cerita ini menurut Dg Palopo ialah jika ada keturunan tobarani Balocci (Koro-korona Balocci) yang tinggal di luar Balocci kemudian melihat burung jala’ maka burung jala’ tersebut tidak akan berumur lama (paling lambat dua hari setelah dilihat maka burung tersebut sudah mati). Entah benar atau tidak, yang pasti cerita ini telah berkembang menjadi semacam mitos atau legenda tentang tobarani Balocci, barangkali hal ini berkaitan dengan “pengetahuan tertentu” atau kesaktian yang terwariskan secara turun temurun. (Makkulau, 2008).

Kekaraengan Balocci dikepalai seorang Karaeng, didampingi oleh 9 Kepala Kampung, 5 diantaranya bergelar Karaeng, seorang bergelar Sullewatang dan 3 orang bergelar Gallarang. Kesembilan kampung dalam wilayah kekaraengan Balocci tersebut ialah Balocci, Padang Tangngaraja, Padang Tangngalau, Bulu – bulu, Birao, Bantimurung, Malaka, Lanne dan Tondongkura. Awalnya Lanne dan Tondongkura mengakui kekuasaan Karaeng Labakkang, kemudian kekuasaan Gowa dan Bone. Kedua kampung itu merupakan sebuah persekutuan hukum tersendiri dan mempunyai arajang yang terdiri dari selembar bendera yang dinamai “BolongngE”. (Makkulau, 2008).

Kampung Lanne dan Tondongkura itu merupakan sebuah persekutuan hukum tersendiri, namun ketika Labakkang mengakui kekuasaan Gowa, maka keduanya menggabungkan diri dalam kekuasaan Kerajaan Bone. Arajangnya terdiri dari selembar bendera dan sebilah kelewang, baru sewaktu ada Controleur ditempatkan di Camba. Controleur Camba ketika itu membawahi tujuh wilayah adatgemeenschap / kekaraengan, yaitu Cenrana, Camba, Laiyya, Mallawa, Balocci, Gattareng Matinggi dan Wanua Waru.

Pada tahun 1862, Kampung Lanne dan Tondongkura dimasukkan ke dalam kekuasaan Kekaraengan Balocci. Sementara Kampung Bantimurung dan Malaka didirikan oleh anggota keluarga dari Karaeng Balocci. Yang merupakan Hadat Balocci adalah Galla’ Bulu – Bulu, Galla Padangtangaraja dan Galla Balocci. Arajangnya terdiri dari selembar petaka merah bernama “Calla’ka” dari Gowa. Demikian Notitie Goedhart dan Abdur Razak Dg Patunru mencatatnya. (Makkulau, 2008).

* * *

Empat tahun sebelum dihentikannya pengoperasian pabrik Semen Tonasa Unit I (1984), sudah dibangun pabrik Semen Tonasa Unit II, hasil kerjasama Pemerintah RI dengan Kanada ini beroperasi pada 1980 dengan kapasitas 510.000 ton semen / tahun dan dioptimalisasi menjadi 590.000 ton semen/tahun pada 1991, selain itu dilakukan perluasan pembangunan Pabrik Semen Tonasa III yang berada di lokasi yang sama dengan Pabrik Unit II dengan kapasitas 590.000 ton semen/tahun, hasil kerjasama Pemerintah RI dengan Jerman Barat, Pabrik selesai pada akhir tahun 1984 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 3 April 1985. Pada tahun 1990, dilakukan lagi perluasan dengan membangun Pabrik Semen Tonasa Unit IV yang berkapasitas 2.300.000 ton semen/tahun.

Pabrik Semen Tonasa Unit II – III – dan IV terletak di Desa Biringere. Desa ini merupakan satu diantara delapan wilayah kelurahan / desa dalam lingkup Kecamatan Bungoro, yaitu Bori Appaka, Bulu Cindea, Bowong Cindea, Samalewa, Sapanang, Biringere, Mangilu dan Tabo – Tabo dengan luas wilayah keseluruhannya mencapai 90,12 km2. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani dan berkebun, sebagian sebagai pekerja pada industri PT Semen Tonasa dan puluhan industri pengolahan marmer / barang tambang lainnya.

Pada mulanya Bungoro dinamai Kalumpang, yang didirikan oleh seorang anak tunggal dari Karaeng Barasa (Pangkajene) di Kalumpang. Menurut A. Baso Tantu, Kalumpang adalah nama pohon / tanaman keras yang dijadikan nama untuk daerah Bungoro sekarang, yang tidak disetujui oleh bate – anak Karaeng Gowa yang diutus oleh Gowa untuk memerintah di daerah ini. Karena itu, Kalumpang diganti namanya menjadi Bungoro, yang juga nama lain dari pohon tersebut. (Wawancara A. Baso Tantu)

Versi lain dari Asal Muasal Bungoro yang penulis dapatkan adalah cerita tentang kedatangan Belanda untuk pertama kali di daerah Bungoro sekarang, kemudian sambil menunjuk ke bawah menanyakan nama daerah baru yang didatangi tersebut. Penduduk yang berpenutur bahasa bugis malahan menganggap bahwa yang ditanyakan itu adalah sebuah sumur yang berada tidak jauh dari tempat berdiri dan menunjuk Belanda itu. Jadi penduduk itu menjawabnya, “Bungung ro” (Bugis : sumur itu). Oleh Belanda, dianggaplah nama daerah itu Bungonro, yang kemudian mendapatkan penyempurnaan pengucapan menjadi “Bungoro”.

Distrik Bungoro dikepalai oleh seorang Karaeng dan didampingi oleh 18 kepala kampong, diantara mana seorang bergelar “Loho”, seorang bergelar “Jennang”, tujuh orang bergelar “Lo’mo” dan delapan orang yang bergelar “Matowa”. Ornamentnya (arajangnya) terdiri dari selembar bendera yang dinamai cinde, yang turun dari langit ke bukit yang bernama Cinde. Kemudian bertambah dengan sebilah sonri (kelewang) dan sebilah tombak yang dinamai Masolo.

Sebagaimana halnya dengan Barasa (Pangkajene) dalam permulaan Abad XVII, Bungoro jatuh ke dalam kekuasaan Gowa. Dalam tahun 1667, Bungoro bebas dari kekuasaan Gowa dan dimasukkan oleh Belanda ke dalam apa yang dikatakan Noorderprovincien. Dalam tahun 1824 semasa pemerintahan Palowong Daeng Pasampo di Bungoro, sebahagian dari kekaraengan ini ditempatkan dibawah pemerintahan dari Daeng Sidjalling, saudara dari Palowong Daeng Psampo. Bahagian yang dikuasai dan diperintah oleh Daeng Sidjalling itu dinamai “Tala’ju” atau “Bungoro Riwawo”, yang terdiri dari Kampung Salebbo (tempat kedudukan dari Karaeng), Barue, Lampangang, Campagayya dan Landea.

Sewaktu regent (Karaeng) Bungoro yang bernama Mallantingang Daeng Pabeta dalam tahun 1668 berhenti dari jabatannya, anaknya yang bernama Pabbicara Daeng Manimbangi masih kecil. Karenanya kepala regent Labakkang yang bernama Mannaggongang Daeng Pasawi ditunjuk oleh Pemerintah Belanda selaku pejabat regent Bungoro untuk sementara waktu. Nanti pada Tahun 1893, La Pabbicara Daeng Manimbangi baru diangkat menjadi kepala Regent Bungoro. Dalam tahun 1906 kepala regent ini diasingkan ke Padang (Sumatera Barat) oleh Belanda karena dianggap berbahaya bagi keamanan dan ketenteraman di Sulawesi Selatan (Surat penetapan Pemerintah Belanda tanggal 16 Februari 1906 No. 26. olehnya itu menurut surat penetapan Pemerintah Belanda tertanggal 30 Juni 1906 No. 34 (Stbl No. 309) Keregent-an Bungoro dihapuskan dan digabungkan pada Keregent-an Pangkajene.

Dalam Tahun 1918 Bungoro dikembalikan menjadi Kekaraengan menurut Surat penetapan Gubernur Celebes dan daerah – daerah takluknya tettanggal 1 Mei 1918 No. 86 / XIX sambil menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat Hindia Belanda. Dahulu Andi Tambi jadi Karaeng Bungoro, kemudian beliau digantikan oleh La DolohaE Daeng Palallo. Beliau digantikan oleh puteranya yang bernama Andi Mustari. Kemudian beliau menjadi Camat Bungoro.

Fort Rotterdam dalam Logo Tonasa

Salah satu bangunan bersejarah saat ini yang masih ada, masih bisa kita saksikan dan kunjungi adalah Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang. Semen Tonasa mengabadikannya sebagai simbol kekokohan. Jika anda perhatikan dengan seksama logo dari Semen Tonasa, ditengahnya adalah bentuk dari Benteng Ujung Pandang dilihat dari atas / udara. Bahan baku pembangunan Benteng Fort Rotterdam, yaitu batu kapur dan tanah liat melalui suatu proses yang kita kenal sekarang sebagai semen.

Logo Semen Tonasa dengan gambar tengah tampak atas Fort Rotterdam tersebut merupakan hasil pemikiran budaya dan tinjauan kesejarahan, terbukti hasil sayembara publik logo Semen Tonasa di tahun 1968 itu adalah hasil karya seniman sanggar ”La Galigo” Makassar pimpinan Ali Walangadi. Logo tersebut mendapatkan penyempurnaan dimasa Ir EH Nizar Dt Kayo menjadi Direktur Utama, sebagaimana gambar logo sekarang dan diberlakukan secara resmi pada tanggal 1 November 1996 (HUT PT Semen Tonasa ke 28).

Penutup

PT Semen Tonasa saat ini terus berkembang, kehadiran pabrik Semen Tonasa Unit II, III dan IV ternyata belum juga dirasa mencukupi kebutuhan semen nasional sehingga pada 2011 ditargetkan sudah bisa memproduksi semen dengan kapasitas 6 juta ton per tahun. Hal tersebut dapat dicapai menyusul pembangunan pabrik semen Tonasa Unit V berkapasitas 2,5 juta ton per tahun. Bila pabrik Tonasa V sudah beroperasi maka kapasitas produksi mencapai lebih dari 6 juta ton per tahun dengan power plant 120 megawatt (MW).

Perlu diketahui bahwa saat ini PT Semen Tonasa menguasai market share 47 persen di wilayah Indonesia timur dengan pertumbuhan 7-8 persen. Omzetnya mencapai Rp 2,3 triliun per tahun dan diharapkan meningkat menjadi Rp 5 triliun per tahun. Wilayah pemasaran meliputi 13 provinsi di kawasan Indonesia timur tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Sebelumnya, semen Tonasa juga diekspor ke Banglades, Singapura, Vietnam, Nigeria, Timor Leste, Hongkong, Taiwan, Malaysia, Kamboja, dan Afrika.

Ada dua hal yang ingin saya sampaikan lewat tulisan ini. Pertama, bahwa eksistensi PT Semen Tonasa diuntungkan oleh bahan baku produksi yang masih melimpah, diantaranya 1.351,6 juta ton batu kapur dan 152,4 juta ton tanah liat. Perkiraan persediaan bahan baku itu bisa dimanfaatkan hingga lebih dari 100 tahun. Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah tersebut bukan milik generasi sekarang tapi warisan dari anak cucu kita yang akan datang, karena itu sedapat mungkin kita mengelolanya dengan arif. Pembangunan berwawasan lingkungan, perhatian terhadap Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta menjaga kawasan karst yang merupakan bagian tak terpisah dari ketersediaan bahan baku produksi harus menjadi perhatian serius dari pemerintah dan petinggi Tonasa.

Kedua, bahwa eksistensi PT Semen Tonasa dilingkupi oleh begitu banyak fragmen sejarah dan budaya di lingkungan sekitarnya, bukan hanya dalam lingkup Pangkep, tetapi dalam skala regional Sulawesi Selatan. Karena itu seharusnyalah PT Semen Tonasa ikut andil dalam upaya pelestarian dan pengembangan budaya lokal. PT Semen Tonasa bisa besar seperti sekarang ini karena alam dan budaya di sekelilingnya. Jadi, tuntutan saya : jaga alam dan jaga budaya.

Semoga Bermanfaat


Muhammad Iqbal M

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 Alvaro AlanoTemplate by : Bugis777Powered by Blogger