SRI PADUKA DATU LUWU ANDI DJEMMA


wu

Perjuangan Andi Jemma untuk Luwu

Sejarah perjalanan keinginan dan idaman rakyat dan politik di Luwu, Tana Luwu, untuk membentuk satu pemerintahan tingkat provinsi tersendiri dan atau sejenisnya sudah sejak lama. Bermula, sudah puluhan tahun.

Ketika masih hidup raja (Datu atau Pajung’e Ri Luwu), Andi Djemma’, beliau pernah menemui Presiden R.I, Ir Soekarno pada tahun 1958. Beliau mengusulkan kepada presiden R.I satu Pemerintahan Daerah Istimewa di Luwu.


Alasan Andi Jemma pajungng’e ri Luwu meminta hal ini, karena raja dan rakyat Luwu, sepenuhnya mendukung proklamasi kemerdekaan R.I, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan malah pada tanggal 18 Agustus 1945, beliau membentuk ‘Gerakan Sukarno Muda’ yang dipimpin langsung oleh beliau; selain dari pada itu, beliau memimpin rakyat Luwu tanggal 23 Januari 1946 mengangkat senjata melawan tentara Sekutu yang diboncengi oleh tentara NICA (Nedelands Indische Company Admisnistration) di kota Palopo.

Karena tekanan lawan disebabkan kekuatan tidak seimbang, hingga beliua terpaksa meninggalkan istana bersama permaisyurinya, memimpin rakyatnya bergerilya didalam wilaya kerajaannya, yang akhirnya tertangkap oleh tentara NICA dan dibuang ke Ternate.

Atas jaza-jaza beliau ini, beliau telah dianugrahi Bintang Kehormatan, lencana ‘Bintang Gerilya’ pada tertanggal 10 November 1958, dengan nomor 36.822 yang ditanda tangani langsung oleh Presiden Republik Indonesia Sukarno.

Permintaan dari beliau direstui oleh Presiden Sukarnod pada saat itu, namun Daerah Istimewa yang dimaksud tidak pernah kunjung dalam wujud nyata, sebagai mana diharapkan beliau, karena saat itu di Luwu, sementara bergejolak pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Abdul Kahhar Mudzakkar, dan sampai Datu Andi Jemma wafat pada tanggal 23 Feberuari 1965 belum terwujud cita-citanya.]

Sebelum beliau meninggal, pada tahun 1963 kembali Panitia Pembentukan provinsi Daerah Tingkat I Luwu terbentuk, yang diketuai oleh Abdul Rachman Yahya BA. Hal dan asalan sama, karena masih ada pergolakan dan gangguan keamanan didaerah Luwu, usaha ini juga mengalami kegagalan, disebabkan Penguasa Militer waktu itu Solihin GP selaku Pangdam Hasanuddin dan Gubernur Andi Arifai, sejumlah kalangan menganggap mereka ini, melakukan politik adu domba diantara para bangsawan Luwu, sehingga Andi Attas dan Andi Bintang berpihak kepada Penguasa Militer, menolak pembentukan provinsi Luwu.

Maka pupuslah harapan untuk lahirnya Daerah Tingkat I Luwu. Para Panitia Perjuangan pembentukan provinsi Luwu ini, semua turut dikorbankan dengan dimutasikan keluar dari Tana Luwu, sampai ada yang dipindahkan ke Irian Jaya (sekarang Papua).

Kemudian pada tahun 1967, kembali Bupati Luwu yang dijabat oleh Andi Rompegading bersama dengan Ketua DPR-Gotong Royong Daerah Tingkat II Luwu Andi Pali, menggaungkan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Luwu, untuk melanjutkan cita-cita Andi Jemma yang dianggap gagal mendapat perwujudan janji presiden Sukarno di berikan Daerah Istimewa.

Juga lagi mengalami nasib sama; beliau diberhentikan menjadi Bupati, malah ditarik dari Palopo ke Makassar dan Andi Pali juga diturunkan dari jabatannya dan diganti oleh bangsawan yang pro kepada penguasa meliter. Jadi terjadi nasib sama, provinsi Luwu belum kunjung datang.

Pada tahun 1999, sejalan dengan arah pembaharuan dan gema era-reformasi, Andi Kaso Pangerang memulai kembali, satu gerakan kearah pembentukan provinsi Luwu, beliau sendiri mengetuai Perjuangan Pembentukan Provinsi Luwu ini, tetapi disayangkan karena juga mendapat tatangan dari pihak panitia Pemekaran Kabupaten Luwu Utara, karena memang persyaratan dianggap masih belum terpenuhi, hingga Perjuangan Provinsi Luwu sekali lagi menjadi korban dari semacam barter lahirnya Kabupaten Luwu Utara dengan terkuburnya usaha pembentukan Provinsi Luwu.

Tahun 2001 bangkit lagi satu panitia perjuangan Provinsi Luwu yang di pelopori oleh dua cendekiawan asal tanah Luwu: Prof Dr H. M. Iskandar, Prof Dr Mansyur Ramli dll, kembali terhambat dengan adanya pemekaran Kabupaten Luwu Timur dan Peningkatan Status Kota administratif Palopo menjadi pemerintahan kota otonomi atau Kota Madya.

Perjuangan Pembentukan Provinsi Luwu kandas lagi untuk kesekian kalinya. Ada kalangan menganggap hal ini disebabkan, karena adanya komitmen antara Andi Hasan Opu To Hatta dengan pihak Golkar Provinsi. Dengan demikian, dianggap kelahiran provinsi Luwu dan adanya Pemekaran Kabupaten Luwu Timur, harus melupakan provinsi Luwu, benarkah itu?

Sejak bulan Pebruari 2004, terbentuk satu panitia-kordinasi yang diketua oleh Rakhmad Sujono SH, beliau terpilih untuk menjadi ketua Perjuangan Pembentukan Provinsi Luwu. Yang kemudian panitia ini disebut Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Luwu.

Dalam perjuangan ini, Bakor (badan kordinasi) yang dipimpin beliau akan melakukan kordinasi dan mengambil inisiatif seperlunya untuk melakukan pendekatan kepada dua ketua DPRD Luwu Utara dan Luwu Timur yang belum mau menandatangani rekomensi tanda persetujuannya untuk membentuk provinsi Luwu.

Pada tahun 1999, berlaku Peraturan Pemerintah (PP 129 tahun 1999) mensyaratkan hanya 3 Kabupaten/kota saja dapat membentuk satu provinsi, tetapi dengan UU No.32 tahun 2005 yang berlaku sekarang, telah berubah dan mensyaratkan 5 kabupaten/kota.

Persoalan yang muncul kemudian dalam perjuangan ini, diduga adanya ketidak senangan dari Gubernur Sulsel H.M. Amin Syam, tidak berlapang dada menyetujui Pembentukan Provinsi Luwu. Kepada seluruh Bupati/walikota se Tana Luwu, memahami signal ini, sehingga diantara mereka tidak berani mengambil langka lebih jauh tentang Provinsi luwu.

Terlebih lagi Ketua DPRD Luwu Utara dan Ketua DPRD Luwu Timur, tidak mau meletakkan tanda tangan atas rekomendasi persetuanya untuk Lahirnya provinsi Luwu.

Persoalan lain adalah pro-kontra tentang masuk tidaknya KabupatenTana Toraja dalam bingkai Perjuangan Provinsi Luwu. Untuk menghadapi pro kontra ini Bupati Luwu Drs H. Basmin Mattayang mencanangkan Pembentukan Kabupaten Luwu Tengah, yang terdiri dari kecamatan Walenrang & Lamasi.

Untuk mewujudkan hal itu, H. Basmin Mattayang telah memekarkan Kecamatan di kawasan Utara Luwu dari 2 kecamatan menjadi 6 kecamatan, dengan persyaratan enam Kecamatan utuk satu Kabupaten pemekaran sudah terpenuhi, diharapkan Kabupaten Luwu Tengah akan terbentuk paling lambat tahun 2010.

Perjuangan Provinsi Luwu menurut berbagai kalangan, dimasa mendatang, dianggap ada ditangan Andi Hasan Opu To Hatta, yang tampa menyadari perjalanan masa, atau dengan manuver politik masih menghendaki Daerah Istimewa Luwu. Tetapi UU no 32 thn 2005 tidak mengatur tentang tata cara pembentukan Daerah Istimewa lagi, Undang-Undang ini hanya mengatur pembentukan provinsi.

Penegasan pidato presiden Susilo Bambang Yudhiyono, pada bulan Agustus 2009 lalu, tidak melarang lahirnya satu provinsi atau daerah pemekaran. Beliau menegaskan untuk daerah yang lahir atau hasil pemekaran tidak boleh membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Melihat potensi dari Tana Luwu, tidak termasuk daerah pemekaran yang akan membebani kepada APBN. Yang penting sekarang semua pihak yang berwenang di Luwu, turut menyatukan tekad untuk melahirkan provinsi Luwu, untuk generasi sekarang dan generasi mendatang.*

........................................................................................................................

Andi Djemma dan Utang Sejarah Pembentukan Provinsi Luwu Raya

SRI PADUKA DATU LUWU ANDI DJEMMA adalah ikon perjuangan rakyat Luwu. Pahlawan nasional yang telah mewakafkan hidupnya untuk republik. Sebagai raja ia rela meninggalkan istana berikut harta bendanya, memilih berjuang bersama rakyatnya demi mempertahankan kemerdekaan bangsa.

”Saya tidak rela meninggalkan Istana dan semua kekayaan saya apabila saya tidak rela sehidup semati dengan anak-anakku, dan saya bersedia tunduk di atas telunjuk anak-anakku kemana saja aku dibawanya,” demikian kebulatan hati seorang Andi Djemma, sebagaimana kesaksian Yusuf Setia, salah seorang ex Kaigun Heiho, yang dikutip dari buku Andi Djemma Datu Luwu: Tahta bagi Republik.

Andi Djemma adalah pemimpin rakyat sejati yang telah dilahirkan sejarah. Jika ditafsirkan, “Djemma” memiliki pengertian sama dengan “rakyat” atau “orang banyak” (masyarakat). Sebagai pemimpin, Andi Djemma telah membuktikan dengan sikap: datang, hidup dan belajar dari rakyat, mengabdi untuk rakyat. Sebuah totalitas yang tanpa pamrih.Kepemimpinan Andi Djemma berlandaskan nilai filosofi budaya Luwu: Lempu (jujur), Getteng (tegas), Ada Tongeng (berkata benar), dan Temmappasilangeng (adil). Itulah alasan, mengapa dia sangat dicintai rakyatnya.


Ketika dilahirkan pada tahun 1901 di Salassae, Istana Datu Luwu di Palopo, Andi Djemma yang memiliki nama kecil Andi Pattiware, sudah menyandang predikat sebagai anak mattola atau putra mahkota. Ibundanya, Sitti Huzaimah Andi Kambo Opu Daeng Risompa, adalah Datu Luwu ke-32, sedangkan ayahnya, Andi Tenri Lengka adalah Cenning Luwu (putra mahkota) yang saat itu menjabat panglima perang Kerajaan Luwu. Namun segala tetek bengek predikat sosial yang disandangnya itu tak membuat Andi Djemma pongah. Justru semuanya itu mendorong dirinya untuk semakin dekat dan mencintai rakyatnya. Konsep kebersamaan yang lebih kita kenal dengan istilah “masseddi siri”, berhasil dibangun Andi Djemma sebagai nilai, yang melahirkan semangat perlawanan rakyat Luwu 23 Januari 1946.

Semangat ini, tentu diharapkan tak lekang dimakan zaman. Peringatan Hari Jadi Luwu dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu adalah sebuah momentum strategis dalam kerangka merajut nilai-nilai massedi siri’, yang belakangan ini kian rapuh. Peringatan yang secara tematik: merupakan ’starting point’ kebersatuan Tana Luwu pasca pemekaran, secara konseptual sungguh sangat indah.

Rasanya, obsesi Andi Djemma yang bagi kita merupakan suatu tangungjawab sejarah, kian mendekat: terbentuknya Provinsi Luwu! Ini patut digarisbawahi dengan tebal. Apatah lagi, tema kali ini seolah bersinergi kuat dengan kerinduan rakyat eks onder afdeling Luwu, untuk bersatu kembali dalam bingkai provinsi. Ini adalah utang sejarah yang belum lunas, yang diwariskan Andi Djemma kepada mereka yang merasa diri sebagai wija To Luwu. Karena di akhir hayatnya, selain lima orang putera dari tiga kali pernikahan, Andi Djemma tidak meninggalkan harta yang berlimpah, kecuali sebuah nama, nilai keteladanan, dan utang sejarah: pembentukan Provinsi Luwu.

Provinsi Luwu, adalah perjuangan menuju kebersatuan Tana Luwu. Dan Andi Djemma belum berhasil mewujudkannya hingga wafat. Puteranya, Andi Achmad Opu To Addi Luwu, yang melanjutkan perjuangan ini, juga belum berhasil mewujudkannya hingga Datu Luwu ini mangkat pada tahun 2002. Di berbagai kesempatan, termasuk ketika memberikan amanah dalam rangka syukuran pembentukan Kota Palopo, 11 juli 2002, Andi Achmad menyampaikan,“Masih ada obsesi yang merupakan warisan sejarah yang insya Allah akan senantiasa tetap diperjuangkan, yaitu pembentukan provinsi. Dan ini saya titipkan kepada semua rakyat Luwu tanpa terkecuali.”

.......................................................................................................................

Tetesan air Mata Andi Djemma dan Lesangi

Wanua Mappatuo Naewai Alena
Toddopuli Temmalara’
Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge

Mengawali tulisan ini, penulis lebih awal menyampaikan alasan kenapa tulisan ini mengambil judul seperti yang ada diatas. Alasan yang pertama adalah sebagai kado persembahan untuk daerah tercinta yaitu Luwu Utara, yang kedua dan paling penting adalah bentuk pengejewantahan dan penghayatan dari dua Tokoh Pejuang Tana Luwu yang ada diatas yang penulis berani mengasumsikan bahwa apa yang menjadi perjuangan dan harapan beliau kini tinggal cerita dongeng belaka. Tana Luwu yang dalam literatur sejarah adalah merupakan sebuah kawasan yang masyarakatnya sangat homogen, baik agama, bahasa, maupun adat istiadat. Dan perlu menjadi catatan kita bersama bahwa sejarahpun mencatat, Kerajaan Luwu merupakan daerah yang ada di Sulawesi Selatan yang pertama kali mengikrarkan diri untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI) dibawa nahkoda seorang Raja yang sangat bijaksana yaitu Datu Andi Djemma. Begitupun dengan tokoh yang sangat populer dikalangan masyarakat Masamba, yaitu Lesangi, yang dalam ceritanya digambarkan sebagai seorang pejuang yang sangat gigih dan rela berkorban demi kemerdekaan dan harga diri daerah yang dicintainya yaitu Masamba.

Dari sedikit gambaran yang ada diatas, sudah kewajiban kita masyarakat Tana Luwu melirik kembali jauh kebelakang dari apa yang menjadi amanah sejarah dari para pendahulu kita terkhusus dari dua Tokoh Pejuang Tana Luwu yang ada diatas. Rasa patriotisme, rela berkorban, nasionalisme dan senasib sepenanggungan yang mereka titipkan kepada kita, mestinya menjadi sebuah amanah mulia dan suci yang mesti dipikul dan ditransformasikan dalam kehidupan kita sehari - hari. Pertanyaanya adalah sudah sejauh mana kita berbuat dan berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan kita seperti yang mereka harapkan? Yang penulis khawatirkan adalah jangan sampai kebesaran nama dan perjuangan kedua Tokoh Tana Luwu tersebut hanya tinggal simbol belaka, tanpa sebuah proses aktualisasi dari apa yang mereka titip dan amanahkan kepada kita.

Kemudian daripada itu, penulis ingin sedikit mencoba mengsingkronkan hal tersebut diatas dengan kondisi hari ini dengan momentum Hari Jadi yang ke – 10 Kabupaten Luwu Utara. Mengawali cerita tersebut, berangkat dari sebuah dogma yang sangat popular dikalangan masyarakat bahwa pemekaran wilayah adalah merupakan syarat utama untuk membentuk tatanan masyarakat yang sejahtera. Hal inilah yang menjadi alasan beberapa tokoh di Tana Luwu untuk memekarkan dan membentuk kabupaten Luwu Utara menjadi kabupaten baru dari kabupaten induknya yakni kabupaten Luwu. Toh dengan umur 10 tahun sekarang, kabupaten Luwu Utara masih banyak menyimpan pertanyaan, terutama penulis sendiri.

Dengan asumsi otonomi daerah, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat ternyata hari inipun masyarakat Luwu Utara secara umum belum bisa merasakan hal tersebut. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan mata kepala sendiri, masyarakat Luwu Utara secara umum bisa merasakan dan membandingkan, bagaimana tatanan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat 10 tahun yang lalu dengan sekarang, misalnya dulunya Malangke terkenal dengan jeruk manisnya, hampir seluruh kecamatan menghasilkan padi yang lumayan, hasil kakao yang cukup membantu kesejahteraan masyarakat secara umum, dan yang paling mengkhawatirkan adalah kondisi sungai Rongkong yang sampai hari ini masih menjadi ancaman bagi masyarakat disekitar Sabbang, Baebunta, sampai Malangke, yang kalau dihitung – hitung bisa mencapai 408 Milyar pertahun kerugian yang dialami Masyarakat, dengan asumsi 2 juta per Hektar x 17 ribu Hektar lahan perbulan. Dan secara umum penulis bisa mengasumsikan bahwa Banjir permanen yang diakibatkan oleh Sungai Rongkong sudah mencapai sekitar 6,3 Triliun selama 17 tahun sampai sekarang, yang secara ekonomi masyarakat petani sangat dirugikan.

Belum lagi dengan kondisi beberapa daerah di Luwu Utara yang masih terisolir sampai hari ini, yaitu Kecamatan Seko dan Rampi. Sedangkan kita ketahui bersama bahwa kedua daerah tersebut menyimpan banyak kekayaan, misalnya Kopi, Padi, dan yang paling menjadi incaran para investor adalah kandungan alam yang tersimpan sampai sekarang yang ada di daerah tersebut, dilain sisi, sampai sekarang belum ada upaya yang maksimal dan serius dari Pemerintah setempat untuk membuka akses transportasi yang bisa menunjang proses perekonomian dan komunikasi masyarakat yang ada disana, dan ironisnya lagi, Bandar Udara yang dibangun dikedua daerah tersebut belum bisa memberikan dampak perekonomian yang berarti bagi masyarakat secara umum, padahal dilain sisi, Seko merupakan Kecamatan yang paling luas wilayahnya di Provinsi Sulawesi Selatan, yang seyogyanya, dengan kawasan yang luas tersebut, bisa memberikan kontribusi Pendapatan Daerah yang cukup jika dikelola dengan baik, sama seperti daerah Malangke, pernah menjadi icon Luwu Utara sebagai penghasil Jeruk Manis dari kawasan Indonesia bagian Timur, kurang lebih 12 Km akses jalan dari Ibu Kota Kabupaten Masamba, yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat Petani yang ada di Malangke.

Dan yang menarik lagi adalah, visi operasional Kabupaten Luwu Utara yaitu Kakao Terbarik 2010, yang sampai sekarang belum jelas indikasinya seperi apa. Kekhwatiran kita adalah jangan sampai ini hanya menjadi boneka untuk meninabobokan masyarakat Luwu Utara, yang secara umum notabenenya hampir 75 % menggantungkan hidupnya sebagai Petani. Indikatornya adalah dengan melihat program dari visi tersebut, yang sampai sekarang kejadian dilapangan, masyarakat belum bisa merasakan secara optimal dari apa yang dijanjikan oleh Pemerintah Daerah. Penulis juga tidak ingin melihat persoalan ini secara mikro, tapi kondisi riil dilapangan, bahwa sampai sekarang, sudah banyak dikalangan Petani Kakao yang menebang habis pohon kakao tersebut dengan alasan sudah tidak produktif, kalaupun sekarang, sebagian dari Petani mengambil langkah alternative dalam rangka penanganan wabah penyakit yang menyerang hampir keseluruhan lahan Kakao yang ada di Luwu Utara dengan melakukan langkah alternative sementara yaitu sambung samping, namun hal ini tidak bisa dijadikan sebagai pegangan masyarakat Petani Kakao karena hasil penelitian membuktikan bahwa sambung samping hanya bisa produksi secara maksimal sampai umum sekitar 5 Tahun, jadi mesti ada peremajaan total yang dilakukan oleh Petani Kakao secara menyeluruh. Dilain sisi, kakao bisa produksi bila ditanam dengan bibit yang baru sekitar umur 3,5 Tahun, pertanyaannya adalah apakah visi Operasinal Luwu Utara Kakao Terbaik 2010 bisa terealisasi? Semua itu penulis kembalikan kepada seluruh masyarakat Luwu Utara, baik Legislatif, Eksekutif, maupun Steakholder yang ada di Luwu Utara serta masyarakat secara umum, karena ini merupakan tanggungjawab kita bersama demi mencapai tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Kemudian daripada itu, dari sekian banyak indikator yang ada diatas, penulis sekedar untuk mengingatkan kepada kita semua dan penulis sendiri bahwa dengan umur yang sudah cukup tua, sudah semestinya kita bercermin dan melirik jauh kebelakang, dengan potensi SDM dan SDA yang selalu dibangga – banggakan oleh Eksekutif, selayaknya ditinjau ulang secara konsisten, legowoh, dan komit. Karena dilain sisi yang secara jelas dirasakan oleh hampir seluruh Masyarakat Luwu Utara, sampai hari inipun penulis berani katakana bahwa kondisi masyarakat secara umum masih sangat memprihatinkan. Ada beberapa hal yang ingin menjadi refleksi kita semua, antara lain adalah :

1. Belum adanya beckapan yang matang dan konsisten dari Pemerintah Kabupaten Luwu Utara dalam mengawal setiap program yang dikeluarkan, sehingga praktis dilapangan terjadi ketimpangan pengelolaan.
2. Pengelolaan perencanaan keuangan anggaran Pemerintah Kabupaten Luwu Utara belum terkelola dengan baik dan efektif kepada masyarakat sehingga perekonomian masyarakat secara umum masih memprihatinkan.
3. Tidak adanya kerjasama yang baik antara Legislatif dan Eksekutif di Kabupaten Luwu Utara sehingga membias menjadi pola politik yang pincang dan kelihatannya ada dominasi satu pihak dan kelompok.
4. Transformasi program Pemerintah Kabupaten Luwu Utara terhadap Masyarakat secara umum belum maksimal sehingga menghasilkan masyarakat yang Lata akan kondisi disekitarnya.
5. Pengelolaan jaringan internet, yang penulis anggap sebagai sebuah pemborosan anggaran dengan mengindahkan kondisi sumber daya manusia dan pendapatan daerah yang minim, mestinya ada keseimbangan antara pola kebutuhan dengan dengan SDM mayarakat disekitarnya.
6. dan lebih parah adalah, kondisi perpolitikan di Luwu Utara cenderung ada dominasi dan tekanan dari beberapa Tokoh, ini bisa dibuktikan dengan menyaksikan proses Pemilu legislatif yang sangat mengkhawatirkan dan memprihatinkan baru – baru ini.

Dari gambaran tersebut, penulis hanya berpesan kepada semua kalangan Masyarakat Luwu Utara bahwa jangan sampai kita menjadi pengecut, penjilat, buaya darat, bunglon dan diktator di Tana kelahiran sendiri, dengan mengindahkan persoalan dan penderitaan yang dirasakan Rakyat secara bersama, kasihan Andi Jemma dan Lesangi, ternyata hanya dijadikan sebagai simbol belaka, tanpa mengaktualisasikan apa yang menjadi perjuangan beliau.

“ Perubahan Masyarakat kearah yang lebih baik bukan karena figur Pemimpinnya, bukan karena sumber daya alamnya, bukan karena Legislatifnya, tetapi hal yang paling fundamental dan mendasar adalah kesadaran masyarakat itu sendiri yang ingin berubah kearah yang lebih baik “ ( Ali Sariati)

........................................................................................................................

TOMANURUNG TANAH LUWU

SEBAHAGIAAN orang kadang mengungkapkan bahwa, To Manurung sering diartikan sebagai turunan dari kayangan dan ditakdirkan untuk memerintah manusia dimuka bumi. Tidak sedikit orang mengungkapkan bahwa To Manurung itu bukanlah manusia sejarah, atau hanya merupakan mitos belaka, akan tetapi penulis lontara dan para petutur di zanan luwu purba di Wotu ketika itu masih terletak disekitar ussu dan bilassa lamoa (kebun dewata) mengungkapkan bahwa raja pertama disebut To Manuru , hal ini disebabkan oleh karena tidak diketahui darimana kedatangannya demikian pula menghilangnya. Jadi sebenarnya oleh masyarakatnya dia dianggap sebagai manusia surgawi atau wija polamoa ( berbeda dengan tradisi-tradisi jawa) tetapi diakui sebagai orang yang datang dan mempunyai kepintaran dan keahlian. Seorang To Manurung (orang Asing) kadang diangkat sebagai raja (belum tentu raja pertama) oleh karena beberapa alasan antara lain:

a, Mungkin sebagai daerah bawahan dari suatu kerajaan yang lebih besar.

b. Karena kehebatan dari pribadi sang pendatang.

c. Karena alasan politik untuk mempersatukan wilayah.

Dapat disinpulkan bahwa nama ToManurung adalah sebenarnya gelaran yang diberikan kemudian oleh turunan dan masyarakatmya pada seorang tokoh sejarah dari suatu kerajaan yang kadangkala di mitoskan sebagai turunan dari kayangan..Pada umumnya orang sulawesi utamanya orang Luwu mempunyai silsilah baik tertulis maupun tidak yang dihapalkan secara turun temurun.Biasanya pada pertemuan-pertemuan keluarga atau antar keluarga, unpamanya dalam peristiwa peminangan atau pesta-pesta, ungkapan silsilah saling dicocokan kembali oleh para pengatur masyarakat atau para ahli silsilah. Dengan cara-cara ini kebenaran silsilah dapat dipertahankan. Disamping itu silsilah-silsilah masih terdapat cerita-cerita rakyat yang disebut Sinrilli atau Tolo. Kedua duanya adalah cerita-cerita kepahlawanan dan peperangan yang pernah terjadi. Sinrilli dan tolo adalah cerita fakta manusiawi yang bebas dari campur tangan tokoh-tokoh kayangan.

Tempat To manurung Tana Luwu

Dari cerita tentang To Manurung, bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara telah banyak ditulis, baik penulis penulis sejarah dalam negeri naupun luar negeri utama nya Belanda, dan terakhir sastrawan negeri jiran Arenawati Yaitu “ Silsilah Kerajaan Bugis dan Melayu” dimana disebutkan, raja raja nusantara dan semenanjung berasal dari Luwu Sulawesi Selatan yaitu keturunan dari La Maddusala (ejaan malayu La Maddusalat) antara lain hampir seluruh kerajaan disemananjung Malaysia dan Nusantara. Sebagaimana umumnya orang mengeketahui bahwa kedatuan Luwu atau kerajaan Luwu memiliki sejarah yang sangat panjang, luas wilayah, sisten pemerintahan,asal muasal darimana berasal pangkal awalnya sang tokoh (To Manurung) masih terjadi perdebatan panjang dan tidak pernah selesai. Nomenklatur “Luwu” atau Luwuq belum ada kesepakatan, tetapi secara pasti oleh orang Wotu tempat muasal sang tokoh menyebut Luwu sebagai Luwo yang berasal dari kata “LU” yang berarti sangat luas hal ini dapat dibuktikan bahwa luas wilayah Luwu purba memang sangat luas, terdampar hampir seluruh daratan sulawesi. Suatu hal yang sulit terbantahkan dan hampir telah menjadi kesepakatan bahwa To Manurung Tanah Luwu adalah Sawerigading. Orang Luwu percaya ia turun kedunia dianggap membawa rahmat bagi keselamatan kemakmuran dan kesejahteraan. Hanya kadang sangat disayangkan dan sering terjadi silang pendapat utamanya para etnis yang ada di Luwu ada yang terang terangan mengklaim bahwa dirinya atau clennya yang yang pewaris luwu atau wija sawerigading sementara yang lain adalah tidak sehingga kelompoknya yang berhak berbicara tentang Luwu dan kelompok lain tidak utamanya tentang adat istiadat., padahal bila kita mau mengkajinya secara obyektif mereka semua keturunan atau wija asselinna Luwu, tidak ada yang dapat mengklaim kelompoknya yang wija to Luwu asli karena yang membedakannya adalah fase atau waktu saja, hal ini dapat dilihat dari sudut dimana dan kapan Ware (pusat penerintahan kerajaan Luwu berpusat) dalan catatan sejarah dapat memberikan kepada kita gambaran masa dimana Ware Pertama sampai Ware Kelima.,

1.Ware.Pertama. Dimulai pada akhir abad ke IX dan memasuki abad keX masehi sampai pada abad ke XIII, dikenal sebagai fase Luwu purba berlangsung kurang lebih 300 tahun lamanya. Pusat kerajaan (Ware) masih di sekitar Wotu lama sampai runtuhnya kerajaan luwu pertama, Wotu lama sebagian pindah Wotu sekarang, sebagian pindah atau hijrah orang Wotu menyebutmya cerrea (orang bugis menyebutnya cerekang) dan sebagian menetap disekitar lampia. Kota Malili belum dikenal karena nanti disekitar abad ke XIII barulah ada yaitu pada saat datangnya orang bugis diLuwu.Sebagian penduduk masih menetap dan sebagian lagi mengikuti Datu atau Raja Luwu Anakaji.

2.Ware Kedua. Dimulai pada abad ke XIV masehi ware (pusat penerintahan) berada di Mancapai , dekat Lelewaru diselatan Danau Towuti pada masa pemerintahan Raja Anakaji.

3.Ware Ketiga Dimulai disekitar abad ke XV Masehi. Ware (pusat kerajaan) berada di Kamanre, ditepi Sungai Noling sekitar 50 km selatan Kota Palopo Rajanya dikenal; sebagai Dewaraja.

4. Ware Keempat Dimulai pada abad ke XVI Masehi pusat kedatuan Luwu (ware) di pindahkan ke Pao, di Pattimang Malangke dan disini peristiwa besar tercatat yaitu masuknya agama Islam di tanah Luwu.

5. Ware Kelima Dimulai ketika memasuki abad ke XVII Malangke menjadi surut sehingga Ware berpindah ke Palopo sampai dengan sekarang.

Jika kita menyimak catatan perjalanan ware diatas, maka tidak ada satu kelompokpun yang dapat mengklaim dirinya sebagai peduduk asli Luwu dan berhak menyebut alenami tomatase”na Luwu karena semua suku bangsa berdasarkan adat luwu adalah penduduk asli Luwu dan berkewajiban mematuhi siapapun yang menjadi Datu ri Luwu. Orang Wotu termasuk Pamona,To padoe(mori) dan Tolaki tidak bisa dipungkiri sebagai penduduk luwu purba abad X, tidak bisa juga mengklaim bahwa dialah penduduk asli Luwu. Walaupun diakui bahwa mereka adalah pewaris Macoa.Orang Palopo dan sekitarnya tidak dapat juga mengklaim bahwa hanya merekalah peduduk asli Luwu walaupun mereka memangku jabatan adat pada masa ware terakhir sampai sekarang, disisilain tidak dapat pula dikesampingkan peran pada masa ware kedua,ketiga dan keempat, semua memiliki peran yang sama, hanya waktulah yang membedakannya.semuanya keturunan para tomanurung....

Semoga Bermanfaat


Muhammad Iqbal M

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 Alvaro AlanoTemplate by : Bugis777Powered by Blogger