Quo Vadis Keberanian Orang Bugis?

Ada yang menjadi prinsip hidup bagi orang bugis Makassar yakni jiwa keberanian dalam mengungkapkan suatu kebenaran. Tentunya kebenaran dalam konteks kemaslahatan hidup orang banyak. Mereka tak pandang bulu dalam menegakkan kebenaran apapun yang terjadi. Sampai ada istilah “to warani” yaitu pemberani. Sikap ini adalah sebuah karakter bawaan orang Sulawesi selatan khususnya suku Bugis-Makassar yang berlangsung turun temurun dari nenek moyang mereka. Prinsip ini telah dibuktikan oleh pejuang asal Sulawesi Selatan yakni Sultan Hasanuddin hingga di gelar “ayam jantan dari timur” atau jangang lakiya battu iraya dan juga Arung Palakka yang dikenal pemberani dari Tanah Bone dalam berjuang melawan Belanda.

Selain itu juga ada Syech Yusuf Al Maqassari”, dengan kebulatan keberaniannya ia merantau meninggalkan Tanah Sulawesi Selatan menuju Afrika, untuk memberikan semangat atas penindasan bangsa Eropa. Tak ketinggalan juga ada Karaeng Galesong sebagai seorang pemberani, yang berangkat ke Tanah Jawa membantu Pangeran Antsari berjuang melawan Belanda. Tokoh-tokoh inilah yang memberikan bukti sejarah bahwa orang bugis Makassar adalah pemberani. Atas keberaniannya itu sempat membawa nama Sulawesi Selatan dalam kancah lokal, nasional bahkan internasional.

Belum lagi jika kita melihat sejarah dalam bidang kelautan. Pelaut asal bugis Makassar ini dengan keberaniannya mereka berlayar dengan menggunakan perahu phinisi mengelilingi dunia. Sampai kita kenal nama Dg. Mangalle, seorang pelaut yang berlayar menahkodai perahu phinisi ini dengan membawa pasukan 250 orang yang sempat melakukan pemberontakan di kerajaan shiam di Thailand akibat konflik dengan Konstantin Fhaulkon.

Jika ditelisik melalui kajian psikologi, keberanian (brave) itu idealnya adalah bawaan setiap orang untuk bisa menjadi pemberani. Keberanian itu adalah bagian dari keyakinan yang kuat kepada Sang Pencipta. Logikanya kenapa harus takut kalau kita yakin kepada Tuhan. Dia maha segalanya. Tiada yang menandinginya. Tiada yang harus di takutkan kecuali Tuhan. Siapa yang mengenal dirinya, pastilah dia mengenal Tuhan-nya. Sikap dan keyakinan inilah yang terbawa oleh orang bugis Makassar dalam memahami sebuah prinsip hidup sehingga mereka menjadi pemberani.

Saya teringat ada seorang pejuang di tahun 1945 yang sangat di kenal di Sulawesi Selatan, yakni almarhum Usman Balo. Beliau adalah termasuk salah seorang penjuang bugis asal Sidrap yang sangat “pemberani”. Hingga sempat di juluki “balo” na sidenreng. Semasa hidupnya, Usman Balo sangat di kenal sebagai tokoh kharismatik yang sangat disegani. Kebetulan sewaktu beliau masih hidup, saya selalu sempatkan bertemu dengannya karena almarhum Usman Balo ini adalah masih saudara dengan almarhum Bapak Saya. Dan saya pikir wajarlah jika saya sering bersilaturahmi sekaligus ingin mengetahui sejauh mana ketokohannya yang pemberani dan kharismatik itu.

Beliau sempat berpesan kepada saya. Bahwa “mengapa harus takut, yang kita takut hanya satu yaitu Tuhan…!” semua manusia pasti akan mati”. Prinsip inilah yang saya selalu ingat dari Usman Balo. Juga ada kata-kata yang ia selalu pegang dan di jadikan prinsipnya hingga akhir hayatnya adalah “Iya ada iya gau”. Apa yang di ucapkan, harus di buktikan. Inilah harga mati bagi seorang Usman Balo semasa hidupnya hingga di kenal sebagai tokoh pemberani dari Sulawesi Selatan. Bahkan Presiden Soekarno waktu itu sempat menaruh perhatian kepadanya.

Melihat hal tersebut, orang Bugis – Makassar tidak saja terkenal keberaniannya, tetapi juga di landasi dengan pribadi-pribadi yang cerdas dan pintar. Kecerdasan orang Bugis-Makassar mungkin disebabkan karena mungkin mereka sangat suka mengkonsumsi ikan dan hasil-hasil laut lainnya. Disamping rata-rata mata pencarian orang Bugis Makassar adalah nelayan. Bagi mereka, ikan adalah sebuah kebutuhan pokok sehari-hari mereka.Ikan adalah sumber protein dan juga beberapa zat-zat gizi yang ada di dalamnya. Yang bisa menstimulasi hormon yang diperlukan oleh tubuh. Barangkali bisa jadi hormon kejantanan. Dengan mengkonsumsi ikan yang banyak, bisa memberikan kecerdasan diatas kecerdasan tanpa makan ikan atau hasil hayati lainnya.

Lebih lanjut, bahwa keberanian orang Bugis Makassar sangat di tunjang dengan kecerdasan yang mereka miliki. Bukannya keberanian tanpa dasar yang membawa sifat-sifat anarkisme dan kekerasan. Substansi keberanian mereka itulah biasa di sebut “macca”. Bahkan dalam menyelesaikan suatu persoalan, mereka takkan mundur ketika persoalan itu belum menemukan satu solusi. Kita bisa ambil contoh, mantan Wapres Jusuf Kalla. Dengan keberanian dan kecerdasannya yang powefull, ia mampu menyelesaikan berbagai konflik di tanah air. Diantaranya kasus Aceh, Poso, Ambon, dsb. Seorang JK sangat tahu kadar dan bingkai yang harus beliau lakukan demi kemaslahatan hidup bangsa ini. Semua itu beliau lakukan dengan penuh keberanian tanpa ada pihak yang dirugikan.

Quo Vadis Keberanian Bugis Makassar

Dengan melihat kajian tersebut diatas, timbul pertanyaan yang sangat menggelitik. Bahkan memalukan bagi sebagian kalangan dan tokoh-tokoh masyarakat asal Sulawesi Selatan baik yang berkacah di pusat maupun yang berada di kampung halaman sendiri yakni maraknya aksi-aksi brutal yang dilakukan mahasiswa di Makassar, apakah masih pantas bagi mahasiswa-mahasiswa itu sebagai generasi penerus bangsa di katakan pemberani yang menjunjung tinggi kecerdasan dan intelektualisme? Mungkin sebagain besar dari mereka beranggapan bahwa aksi-aksi yang mereka lakukan itu adalah salah satu jiwa patriotisme dalam menegakkan kebenaran. Padahal seperti yang saya ulas diatas, mereka lupa bahwa jiwa heroik atau pemberani itu adalah adalah tidak bisa di pahami sepenggal-sepenggal. Ia harus dipahami secara utuh dan ketuhan itu harus bulat.

Muncullah sebuah penghayatan dalam keberanian itu. Yang di dalamnya ada kecerdasan termasuk kedamian dan kasih sayang. Rasa-rasanya, hal ini menjadi pe-er buat kita semua. Secara umum, indikasi lunturnya rasa keberanian masyarakat Bugis Makassar, yang di contohkan oleh kebrutalan dan anarkisme mahasiswa di Makassar ini antara lain di sebabkan. Pertama, tidak adanya lagi sosok pemimpin yang benar-benar bisa dijadikan panutan. Minimal setiap persoalan yang mengemuka, seorang pemimpin sudah bisa merasakan ketika adanya bias-bias dari bawah jika akan terjadi sesuatu. Apa yang di rasakan oleh rakyatnya, bisa dirasakan olehnya. Pemimpin seperti inilah yang diharapkan memiliki rasa keberanian yang kuat untuk melindungi rakyatnya. Sehingga akan muncul kharismatik dan “rasa” kecintaan dan di cintai oleh rakyatnya. Bagaimana ia menjiwai semua yang ada di sekelilingnya dalam menyelesaikan berbagai persoalan.

Kedua, etika dan estetika yang selama ini selalu di junjung tinggi oleh orang Bugis Makassar yang merupakan kearifan lokal turun temurun tidak lagi di jadikan sebagai sebuah dasar dalam tatana hidup bermasyarakat. Padahal di dalam etika estetika seperti yang tersurat di dalam “lontara”, mengandung nilai-nilai spiritual yang sangat dalam. Bagaiamana manusia bisa mengenal dirinya secara utuh dan juga Sang Pencipta. Dan jika di kaji lebih jauh, dalam lontara ini semua tatana hidup bermasyarakat ada di dalamnya.

Ketiga, pudarnya jiwa pemberani orang Bugis Makassar juga dikarenakan faktor akses teknologi informasi yang begitu cepat, seiring dengan peradaban dunia secara global. Semua bisa terakses dengan begitu mudah. Mulai dari kebutuhan pokok, hiburan, dan apa saja semuanya dengan instan bisa di peroleh dengan mudah. Budaya konsumtif orang Bugis Makassar ini adalah salah satu pemicu menurunnya mentalitas keberanian yang ada pada mereka. Dunia materialisme membawa manusia lupa akan segala-galanya.

Keempat, kurang fokusnya perhatian pemerintah di Sulawesi Selatan untuk melihat masalah ini sebagai sebuah masalah yang sangat penting. Menyangkut kehidupan berbangsa kedepan. Mereka lebih banyak fokus pada diri mereka sendiri. Banyak faktor yang membuat mereka seperti itu. Salah satunya adalah jiwa keberanian mereka sebagai pemerintah dalam hal ini sebagai pelayan rakyat dalam menyelesaikan suatu persoalan yang mengatasnamakan rakyat belum begitu menyentuh realitas apa yang mereka butuhkan.

Mengamati berbagai indikasi diatas. Masyarakat Bugis Makassar telah kehilangan jati dirinya yang sejati. Yang mana nilai-nilai kesejatian yang hilang itu terkandung kuat jiwa keberanian. Mengapa saya katakan dalam tulisan ini telah hilang kemana perginya? Ringkas saja bahwa jiwa keberanian selama ini yang dilakukan oleh aksi-aksi mahasiswa di Makassar adalah sebuah aksi yang justru merusak nilai-nilai keberanian orang bugis Makassar yang sudah dibuktikan secara turun temurun. Warisan yang taruhlah telah mengalami degradasi baik dari kesalahan pemahaman terlebih lagi penghayatan.

Mungkin juga mereka tidak paham apa esensi keberanian serta eksistensi nilai-nilai yang ada dalam keberanian itu sendiri. Sehingga meng-kristal dalam ke-egoan yang mendarah daging itu. Bagaimana mereka mau berani jika mereka tidak menghayati keberanian itu? Dalam masalah ini kita harus melihat secara bijak dan jernih denggan pandangan yang holistik agar dapat menemukan sebuah benang merah mengapa semua ini bisa terjadi. Sehingga nantinya akan ditemukan sebuah solusi dan konsep yang akan kita resapi dengan menukik ke dalam diri masing-masing.

Filosofinya. Keberanian itu mutlak adanya. Apa yang pernah diwariskan oleh para pendahulu orang Bugis Makassar secara turun temurun itu hendaknya dipahami secara seksama dengan penuh penghayatan. Yang mana kita harus berani dan yang mana kita harus mengalah. Itu sudah merupakan wujud aktualisasi dari menanamkan jiwa “pemberani” dalam diri kita. Jangan biarkan nilai-nilai positif dari keberanian itu diinterpretasikan secara negatif sehingga terjadi pendangkalan makna dan pemahaman serta penghayatannya. Padahal sesungguhnya, jika kita mau sadar bahwa apa yang telah dilakukan oleh para leluhur kita terdahulu sehingga mereka bisa membuktikan secara empirik menjadi “to warani” itu harus pula kita lanjutkan dengan penuh keberanian pula yang sejatinya ada dalam diri manusia.

Dengan begitu, orang Bugis Makassar tetap di kenal sebagai pribadi yang benar-benar “kesatria” dan “pemberani”. Tepat konsisten dalam menyuarakan kebenaran tanpa pernah ada rasa takut menyuarakan kebenaran demi kemaslahatan hidup orang banyak apapun yang akan terjadi. ”Iya ada, Iya Gau..”.

Semoga Bermanfaat


Muhammad Iqbal M

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 Alvaro AlanoTemplate by : Bugis777Powered by Blogger