Makna Adat Pernikahan Bugis Bergeser

Makna pernikahan dengan adat Bugis dalam 30 tahun terakhir bergeser menjadi panggung yang penuh kepalsuan. Penyebabnya adalah kesalahan cara berpikir masyarakat dalam menyikapi derajat sosial dan kepemilikan harta.

Hal itu mengemuka dalam diskusi dan peluncuran buku Perkawinan Bugis terbitan Ininnawa di Makassar, Sulawesi Selatan. Buku itu ditulis Susan Bolyard Millar, peneliti dari Wisconsin Institutes for Discovery. Tampil sebagai pembicara adalah antropolog Universitas Hasanuddin, Yahya Kadir; pengamat kebudayaan dari Universitas Negeri Makassar, Aslan Abidin; dan Wahyuddin Halim dari Universitas Islam Negeri Alaudin, Makassar.

”Perkawinan dengan adat Bugis seolah menjadi lembaga judi dan lelang,” kata Wahyuddin.

Wahyuddin memaparkan, acap kali uang puluhan hingga ratusan juta rupiah dikeluarkan untuk membiayai prosesi perkawinan yang melibatkan beberapa hal, seperti mahar (mas kawin) dan dui’ menre (uang belanja). Tak jarang, pihak mempelai pria mengeluarkan uang untuk mengangkat status atau mangelli dara (membeli darah).

Atas nama derajat sosial, kata Wahyuddin, pernikahan bisa menjadi ajang untuk mencari pihak yang bersedia membayar mahar dan uang belanja paling tinggi. Fenomena ini terjadi hampir merata di kalangan suku Bugis.

Kondisi itu merupakan konsekuensi bergesernya pola pikir masyarakat mengenai apa yang dianggap berharga, kata Yahya. Demi pencitraan di masyarakat, sebuah pesta perkawinan bisa diselenggarakan dengan uang pinjaman.

Aslan melihat kecenderungan itu sebagai sifat berkompetisi yang menjadi karakter suku Bugis. Yang harus dilakukan sekarang adalah mengarahkan kompetisi untuk hal yang lebih penting dari kepemilikan materi. Menurut dia, budaya pesta perkawinan perlu dipertahankan karena dapat mempererat silaturahim antar kerabat.

Semoga Bermanfaat


Muhammad Iqbal M

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 Alvaro AlanoTemplate by : Bugis777Powered by Blogger